Beberapa minggu belakangan ini kita disuguhi oleh media (baik cetak ataupun elektronik) tentang kerusuhan-kerusuhan yang dilatarbelakangi adanya sekolompok orang yang terganggu dengan perbedaan sekelompok orang yang lain. Agama yang seharusnya menjaga komunitasnya dari kekacauan (chaos) malah terjebak dengan doktrin-doktrinnya sendiri. Sangat menyedihkan membaca tulisan disalah satu harian nasional yang mengatakan bahwa Agama terbukti "gagal" membawa damai.
Perasaan hati kacau/bingung setiap membaca/mendengar kerusuhan-kerusahan dengan latar belakang agama tersebut. Saya sangat yakin tidak ada satupun agama didunia ini yang mengijinkan melakukan kekerasan kesesamanya manusia. Negara yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk menjamin keselamatan, keberagaman dan kebebasan beragama juga telah gagal. Demokrasi yang mulai tumbuh berkembang dinegeri ini malah menenggelamkan toleransi terhadap keberagaman. Mengapa Demokrasi berjalan terbalik dengan kebebasan beragama? Apakah warga negara kita belum siap untuk menjadi negara demokrasi? Apakah kita harus kembali ke jaman Soeharto untuk bisa hidup damai?
Tulisan kali ini bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas. Saya tidak mau berpolemik dengan masalah tersebut. Tulisan ini hanyalah sebuah hasil dari pembelajaran dari 2 orang "Operator Timbangan" di pabrik tempat saya bekerja. Saya belajar sesuatu yang indah tentang bagaimana bisa hidup rukun dan mampu bekerjasama walaupun memiliki latar belakang berbeda satu sama lain.
Pak Harahap dan Pak Siahaan adalah orang-orang yang saya maksudkan tersebut. Mereka berdua sama-sama bekerja sebagai Operator Timbangan di tempat saya bekerja. Fungsi utama mereka adalah menimbang bahan baku yang masuk ke pabrik. Hasil timbangan inilah yang kemudian akan menjadi bukti jumlah bahan baku yang diterima dari pemasok. Pabrik tempat saya bekerja hanya menerima bahan baku dari kebun sendiri (tidak menerima bahan baku karet dari kebun rakyat). Namun dilihat dari pekerja yang menghasilkan bahan baku karet maka ada 2 jenis hasil bahan baku yaitu; bahan baku dari Tenaga Sendiri (Karyawan Perusahaan) dan bahan baku dari Tenaga Pemborong (pihak ke-3 yang dikontrak oleh perusahaan).
Berikut adalah hasil pembelajaran yang saya terima dari Pak Siahaan dan Pak Harahap.
- Toleransi yang luar biasa
Pak Harahap adalah seorang Muslim sedangkan Pak Siahaan adalah seorang Kristen. Mereka berdua sama-sama taat beragama. Pak Harahap selalu menjalankan ibadah 5 waktunya dengan rajin begitu juga dengan Pak Siahaan selalu berbidah setiap minggunya ke Gereja. Sama-sama bertugas sebagai Operator Timbangan menuntut mereka untuk bisa saling mengisi dan bekerja sama. Perbedaan agama tidak lantas mengganggu kerja sama mereka karena toleransi yang luar biasa yang mereka miliki.
Dalam bekerja mereka sama-sama mengatur agar pekerjaan dapat terus berlangsung tanpa mengganggu kegiatan beribadah. Pada saat jam sholat tiba bagi Pak Harahap maka Pak Siahaan secara otomatis akan langsung mengambil alih stasiun timbangan. Stasiun timbangan tidak lantas ditinggalkan karena akan mengganggu aktivitas bahan baku yang masuk. Begitu juga jika Pak Siahaan harus beribadah pada hari minggu maka secara otomatis juga Pak Harahap akan mengambil alih stasiun timbangan. Hari minggu pabrik tetap beroperasi (tidak libur) sehingga stasiun timbanganpun harus tetap buka. Pengaturan-pengaturan ini mereka sepakati bersama atas dasar toleransi beragama yang begitu kuat didalam diri mereka. Belum pernah saya mendengar kalau mereka berselisih masalah agama.
- Ketaatan beragama dan kejujuran dalam bekerja
Pemahaman agama yang kuat membuat mereka bekerja dengan jujur. Posisi Operator Timbangan pastilah banyak godaannya. Banyak pihak pemasok bahan baku (khususnya yang berasal dari Tenaga Pemborong) menawarkan iming-iming menggoda asal mereka mau membantu untuk mengatur hasil penimbangan. Tawaran-tawaran ini tidak pernah membuat mereka kehilangan kejujurannya. Mereka tidak seperti kebanyakan orang-orang munafik yang banyak saya kenal. Mereka tidak bersembunyi dibalik topeng keagaamaan namun bertindak jauh dari nilai-nilai keluhuran. Kalau saja sikap mereka ini dimiliki oleh aparatur negara kita maka saya yakin negara kita ini bisa bebas dari kejahatan dan korupsi. Sampai saat ini kredibilitas Pak Siahaan dan Pak Harahap tidak ada yang meragukan. Posisi sebagai Operator Timbangan haruslah orang yang jujur dan mereka menjadi orang paling layak untuk itu.
Hasil pembelajaran ini semoga saja berguna bagi saya nantinya dan semoga saja anda juga merasakan hal yang sama. Seandainya saja kita bisa memahami inti ajaran agama kita maka kita akan menemukan nilai-nilai yang universal sehingga tidak perlu ada lagi kelompok yang merasa harus membinasakan kelompok lain.
Semoga...